Rabu, 27 Desember 2017

Piagam Gumi Sasak: saatnya masyarakat untuk sadar kembali pada jati diri bangsa Sasak


Salah satu suku yang ada di Indonesia adalah suku bangsa Sasak dengan beragam keunikan, ciri khasnya, dan nilai-nilai kearifan lokal yang tinggi. Nilai-nilai yang di anut oleh masyarakat sasak adalah merupakan  ajaran tasawuf. Ajaran Islam tasawuf menjadi suatu ketertarikan utama bagi masyarakat suku Sasak karena pada umumnya ajaran ini mengajarkan dimensi mendalam dalam pemahaman ketuhanan dan keagamaan.
Masyarakat suku Sasak sendiri memiliki sifat yang toleran terhadap hal-hal yang baru. Dari sifat yang toleran inilah terjadi pergeseran sikap yang secara tidak sadar akan melupakan amanah dari nenek moyang terdahulu. Masyarakat suku Sasak mulai lupa akan tanggung jawabnya untuk menjaga hal-hal yang membuat suku sasak terdahulu berada di masa kejayaannya.
Hal tersebut sebagai dampak dari arus globalisasi yang tak terelakkan. Untuk itulah terbentuknya piagam gumi Sasak. Piagam gumi Sasak ini ingin menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk kembali bersikap selayaknya masyarakat suku sasak yang sebenarnya, membentuk suatu benteng untuk melindungi jati diri bangsa, dan tetap melaksanakan kewajiban melestarikan amanah. Adapun isi dari piagam gumi Sasak, kami anak-anak bangsa Sasak mengumumkan Piagam Gumi Sasak sebagai berikut. 
                                                  
  1. Berjuang bersama menggali dan menegakkan jati diri bangsa Sasak demi kedaulatan dan kehormatan budaya Sasak.
  2. Berjuang bersama memelihara, menjaga, dan mengembangkan khazanah intelektual bangsa Sasak agar terpelihara kemurnian kebenaran, kepatutan, dan keindahannya sesuai dengan roh budaya Sasak. 
  3. Berjuang bersama menegakkan harkat dan martabat bangsa Sasak melalui karya-karya kebudayaan yang membawa bangsa Sasak menjadi bangsa yang maju dengan menjunjung tinggi nilai-nilai religiusitas dan tradisionalitas. 
  4. Berjuang bersama membangun citra sejati bangsa Sasak baru dengan kejatidirian yang kuat untuk menghadapi tantangan peradaban masa depan. 
  5. Berjuang bersama dalam satu tatanan masyarakat adat yang egaliter, bersatu dan berwibawa dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Semoga Allah SWT senantiasa memberikan kekuatan serta memberkahi perjalanan bangsa Sasak menuju kemaslahatan seluruh umat manusia.  

Mataram, 14 Mulud tahun Jimawal / 1437H. 
26 Desember 2015. 
Ditandatangani bersama kami,
  1. Drs. Lalu Azhar
  2. Drs. H. Lalu Mujtahid
  3. Drs. Lalu Baiq Windia M.Si
  4. TGH. Ahyar Abduh
  5. Drs. H. Husni Mu'adz MA., Ph. D.
  6. Dr. Muhammad Fadjri, M.A.
  7. Dr. H. Jamaludin M. Ag.
  8. Dr. Lalu Abd. Khalik M.Hum.
  9. Drs. H. A. Muhit Ellepaki, M. Sc., 
  10. Dr. H. Sudirman M.Pd.
  11. Dr. HL., Agus Fathurrahman
  12. Mundzirin S.H, 
  13. L. Ari Irawan, SE., S.Pd., M.Pd.
Sumber: youtube

Rabu, 20 Desember 2017

BUTUS: ADA PESAN DI BALIKNYA









Tradisi adalah adat kebiasaan turun-temurun dari nenek moyang yang masih dijalankan dalam masyarakat. Salah satu tradisi yang tidak asing di daerah Lombok adalah butus atau perutuq. Butus atau peretuk adalah adat masyarakat Lombok yang berkaitan dengan proses penyembuhan orang sakit. Butus atau perutuq dilakukan apabila jika seseorang merasakan mual-mual dan pusing yang tak berkesudahan, maka dilakukanlah butus atau peretuq ini dengan harapan orang yang sakit tersebut sembuh. Rasa mual dang pusing itu dipercaya disebabkan oleh keluarganya yang sudah meninggal yang ingin memberi pesan. Di dalam butus sendiri memiliki beberapa tata cara dalam pelaksanaannya. Pertama salah seorang dari utusan orang yang sakit mendatangi seseorang yang dianggap orang pintar atau disebut dengan belian. Setelah utusan ini menceritakan kalau ada orang yang sakit, maka barulah butus ini dilakukan. Butus ini dilakukan dengan mengambil seikat kecil rambut di daerah ubun-ubun utusan tersebut kemudian ditarik oleh belian yang terlebih dahulu dibacakan mantra. Apabila tarikan tersebut berbunyi berarti orang yang sakit itu sedang ditegur oleh keluarganya yang sudah meninggal. Di dalam penarikan rambut tersebut akan disebutkan nama keluarganya yang sudah meninggal terlebih dahulu. Apabila berbunyi maka nama keluarga yang disebutkan itulah yang telah menegurnya. Akan tetapi apabila tidak berbunyi maka nama yang disebutkan itu bukanlah yang menegurnya. Setelah dilakukan butus, biasanya orang yang sakit tersebut akan membaik. Pesan yang ingin disampaikan melalui butus ini adalah agar kita selalu menjaga prilaku kita, sebab ketemuq ini terjadi sebagai akibat dari kelakuan yang tidak baik, sehinga ditegur oleh orang yang sudah meninggal.

Selasa, 19 Desember 2017

BUDAYA NYONGKOLAN: TRADISI TANAH SASAK


Nyonkolan merupakan salah satu budaya  dari Lombok, di mana nyongkolan ini merupakan serangkaian adat yang dilaksanakan pada proses pernikahan. Untuk lebih jelasnya penulis mendapatkan dua narasumber  yaitu Amak Herman dan popuk Uyat untuk lebih merinci lagi mengenai nyongkolan tersebut.
Menurut amak Herman nyongkolan merupakan acara arak-arakan pengantin, yaitu acara pengiringan pengantin laki-laki menuju rumah   pengantin perempuan yang diiringi oleh dedare-dedare dan terune- terune  dengan menggunakan pakaian adat hingga  diiring musik  tetabuhan seperti gendang beleq atau kecimol. Amak Herman menegaskan kalau acara nyongkolan ini merupakan acara pengenalan sang pengantin kepada penduduk desa yang berlandaskan pada perintah nabi untuk mengabarkan kepada orang banyak kalau mereka sudah sah menjadi semuhrim. Amak Herman menambahkan kalau di dalam proses nyongkolan ada beberapa tata cara  yang harus dilaksanakan dalam pelaksanaannya, seperti pengantin perempuan  haruslah berjalan di depan dengan diirinigi oleh dedare-dedare sebegai dayang-dayang karena diibaratkan sebagai seorang permaisuri, kemudian barulah pengantin laki-laki berjalan di belakangnya dengan diiringi juga dengan terune-terune  sebagai prajurit- prajurit karena diibaratkan pengantin laki-laki sebagai seorang raja bukan berjalan    berdampingan bersama  seperti yang diketahui selama ini. Untuk barisan terakhir diisi oleh musik  tetabuhan seperti gendang beleq atau kecimol untuk menarik perhatian para warga desa.
Tidak berbeda jauh dari pendapat Amak Herman, Popuk Uyat, narasumber kedua juga mengatakan bahwa nyongkolan merupakan acara arak-arakan pengantin menuju rumah pengantin perempuan. Popuk Uyat mengatakan bahwa di dalam proses nyongkolan sebenarnya tidak dibenarkan menggunakan kecimol sebagai tetabuhan iring-iringan pengantin karena bukan merupakan tetabuhan adat. Sedangkan dii dalam barisan nyongkolan tidak jauh berbeda dengan apa yang dikatakan oleh Amak Herman . Popuk  Uyat menjelaskan kalau pengantin perempuan dan laki-laki bisa saja berdampingan berjalan di depan dikarenakan kalau mereka merupakan warga sedesa. Popuk Uyat menambahkan kalau  di dalam nyongkolan ketika hendak melewati masjid dan bertemu dengan iringan pengantar jenazah, musik tetabuhan harus di hentikan kurang lebih 100 meter untuk menghargai warga yang sedang beribadah dan menghormati iringan pengantar jenazah. Popuk Uyat melanjutkan kalau ada beberapa mitos dan kepercayaan yang berkembang di masyarakat mengenai nyongkolan ini. Salah satunya jika acara nyongkolan tidak digelar  maka usia rumah tangga pengantin tersebut tidak akan bertahan lama dan anak yang dilahirkan biasanya akan terlahir cacat secara fisik.
Sejak zaman dahulu acara nyongkolan ini terus dilestarikan dari masa ke masa karena merupakan kekayaan budaya yang tidak ternilai harganya. Setiap daerah mungkin terdapat berbagai perbedaan mengenai  nyongkolan ini, dikarenakan nyongkolan merupakan salah satu folklore yang tidak dibukukan.

Piagam Gumi Sasak: saatnya masyarakat untuk sadar kembali pada jati diri bangsa Sasak

Salah satu suku yang ada di Indonesia adalah suku bangsa Sasak dengan beragam keunikan, ciri khasnya, dan nilai-nilai kearifan lokal y...