Selasa, 19 Desember 2017

BUDAYA NYONGKOLAN: TRADISI TANAH SASAK


Nyonkolan merupakan salah satu budaya  dari Lombok, di mana nyongkolan ini merupakan serangkaian adat yang dilaksanakan pada proses pernikahan. Untuk lebih jelasnya penulis mendapatkan dua narasumber  yaitu Amak Herman dan popuk Uyat untuk lebih merinci lagi mengenai nyongkolan tersebut.
Menurut amak Herman nyongkolan merupakan acara arak-arakan pengantin, yaitu acara pengiringan pengantin laki-laki menuju rumah   pengantin perempuan yang diiringi oleh dedare-dedare dan terune- terune  dengan menggunakan pakaian adat hingga  diiring musik  tetabuhan seperti gendang beleq atau kecimol. Amak Herman menegaskan kalau acara nyongkolan ini merupakan acara pengenalan sang pengantin kepada penduduk desa yang berlandaskan pada perintah nabi untuk mengabarkan kepada orang banyak kalau mereka sudah sah menjadi semuhrim. Amak Herman menambahkan kalau di dalam proses nyongkolan ada beberapa tata cara  yang harus dilaksanakan dalam pelaksanaannya, seperti pengantin perempuan  haruslah berjalan di depan dengan diirinigi oleh dedare-dedare sebegai dayang-dayang karena diibaratkan sebagai seorang permaisuri, kemudian barulah pengantin laki-laki berjalan di belakangnya dengan diiringi juga dengan terune-terune  sebagai prajurit- prajurit karena diibaratkan pengantin laki-laki sebagai seorang raja bukan berjalan    berdampingan bersama  seperti yang diketahui selama ini. Untuk barisan terakhir diisi oleh musik  tetabuhan seperti gendang beleq atau kecimol untuk menarik perhatian para warga desa.
Tidak berbeda jauh dari pendapat Amak Herman, Popuk Uyat, narasumber kedua juga mengatakan bahwa nyongkolan merupakan acara arak-arakan pengantin menuju rumah pengantin perempuan. Popuk Uyat mengatakan bahwa di dalam proses nyongkolan sebenarnya tidak dibenarkan menggunakan kecimol sebagai tetabuhan iring-iringan pengantin karena bukan merupakan tetabuhan adat. Sedangkan dii dalam barisan nyongkolan tidak jauh berbeda dengan apa yang dikatakan oleh Amak Herman . Popuk  Uyat menjelaskan kalau pengantin perempuan dan laki-laki bisa saja berdampingan berjalan di depan dikarenakan kalau mereka merupakan warga sedesa. Popuk Uyat menambahkan kalau  di dalam nyongkolan ketika hendak melewati masjid dan bertemu dengan iringan pengantar jenazah, musik tetabuhan harus di hentikan kurang lebih 100 meter untuk menghargai warga yang sedang beribadah dan menghormati iringan pengantar jenazah. Popuk Uyat melanjutkan kalau ada beberapa mitos dan kepercayaan yang berkembang di masyarakat mengenai nyongkolan ini. Salah satunya jika acara nyongkolan tidak digelar  maka usia rumah tangga pengantin tersebut tidak akan bertahan lama dan anak yang dilahirkan biasanya akan terlahir cacat secara fisik.
Sejak zaman dahulu acara nyongkolan ini terus dilestarikan dari masa ke masa karena merupakan kekayaan budaya yang tidak ternilai harganya. Setiap daerah mungkin terdapat berbagai perbedaan mengenai  nyongkolan ini, dikarenakan nyongkolan merupakan salah satu folklore yang tidak dibukukan.

16 komentar:

Piagam Gumi Sasak: saatnya masyarakat untuk sadar kembali pada jati diri bangsa Sasak

Salah satu suku yang ada di Indonesia adalah suku bangsa Sasak dengan beragam keunikan, ciri khasnya, dan nilai-nilai kearifan lokal y...